Rabu, 26 Maret 2014

                                           Nama : Tri Supangso Pasolang TangdiLambi
 Kelas : 1 PA 13
                                                      NPM : 18513967                                                   











Rambu Solo


            Rambu solo, mungkin sebutan ini masih asing ditelinga kebanyakan masyarakat di Indonesia. Rambu Solo adalah sebuah upacara adat dari suku Toraja yang bertempat di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Tana Toraja adalah tanah dimana saya dilahirkan, saya bangga dilahirkan di tanah ini, karena mempunyai sejuta pesona indah dan juga adat istiadatnya yang mendunia, salah satunya adalah Rambu Solo.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya sangat mahal -_-. Semakin kaya dan berkuasa seseorang disana, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara pemakaman ini disebut “Rambu Solo”.

Rambu Solo merupakan sebuah tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk merayakannya. Upacara ini biasanya baru digelar berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga bisa mengumpulkan banyak uang untuk menggelar proses Rambu Solo ini, misal seperti almarhum nenek saya yang baru dikuburkan 4 tahun setelah almarhum meninggal. Masyarakat Toraja percaya, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba tetapi proses yang bertahap menuju Puya atau dunia arwah/ akhirat. Didalam masa penungguan tersebut, mayat diawetkan dan dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan didalam tongkonan (rumah adat Tana Toraja). Arwah orang yang mati dipercaya masih tetap tinggal di desa sampai upacara Rambu Solo selesai, dan setelahnya arwah tersebut akan melanjutkan perjalanan menuju Puya.

Rambu Solo dapat dijumpai di Tana Toraja pada bulan ke 10 sampai awal tahun baru, dimana orang-orang Toraja yang merantau akan pulang ke desanya di Tana Toraja.

Bagian lain dari pemakaman ini adalah penyembelihan tedong atau kerbau dan babi. Semakin banyak kerbau dan babi yang disembelih maka akan semakin tinggi derajat keluarga orang yang meninggal tersebut. Tidak tanggung-tanggung jumlah kerbau yang disembelih ada yang berjumlah 10 – 200 ekor kerbau, tergantung kesanggupan keluarga yang ditinggalkan. Untuk harga 1 ekor kerbau biasa disana dihargai 50-100 juta rupiah tergantung ukuran kerbau tersebut. Bahkan ada jenis kerbau yang berharga 200-3 milyar rupiah yaitu kerbau berjenis “Tedong Saleko”. Mengapa begitu mahal? Saya juga heran, tapi menurut cerita bapak saya, kerbau disini mahal karena sebagian masyarakatnya bekerja sebagai pelaut dan banyak yang merantau keluar negeri dan mereka kembali ke kampung halamannya dengan membawa uang yang banyak, karena itu harga kerbau disana sangat tinggi, dan gengsi juga menjadi alasan utama mahalnya harga kerbau tersebut.

Penyembelihan kerbau dilakukan dengan menggunakan golok di depan seluruh masyarakat dan tamu yang datang. Masyarakat Toraja percaya bahwa kerbau tersebut akan menjadi tunggangan dan pengawal arwah untuk melaksanakan perjalanannya ke Puya, semakin banyak kerbau yang disembelih maka arwah akan lebih cepat sampai ke Puya. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi adalah puncak upacara pemakaman yang diiringi musik dan tarian dari para pemuda yang menangkap darah tersebut dengan bambu panjang. Sebagian daging dari kerbau dan babi yang disembelih tersebut akan dibagikan kepada para tamu dan dicatat karena hal tersebut akan dianggap hutang pada keluarga almarhum, dan sebagian lagi akan dibagikan kepada masyarakat desa.










Berikut ada beberapa foto dari upacara pemakaman almarhum nenek saya.