Nama : Tri Supangso Pasolang TangdiLambi
Kelas : 1 PA 13
NPM : 18513967
Rambu
Solo
Rambu solo, mungkin sebutan ini masih asing ditelinga
kebanyakan masyarakat di Indonesia. Rambu Solo adalah sebuah upacara adat dari
suku Toraja yang bertempat di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Tana Toraja adalah
tanah dimana saya dilahirkan, saya bangga dilahirkan di tanah ini, karena
mempunyai sejuta pesona indah dan juga adat istiadatnya yang mendunia, salah
satunya adalah Rambu Solo.
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya sangat mahal -_-. Semakin kaya dan berkuasa seseorang disana, maka
biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara pemakaman ini disebut
“Rambu Solo”.
Rambu
Solo merupakan sebuah tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan
waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk merayakannya. Upacara ini
biasanya baru digelar berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun sejak
kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga bisa mengumpulkan
banyak uang untuk menggelar proses Rambu Solo ini, misal seperti almarhum nenek
saya yang baru dikuburkan 4 tahun setelah almarhum meninggal. Masyarakat Toraja
percaya, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba tetapi
proses yang bertahap menuju Puya atau dunia arwah/ akhirat. Didalam masa penungguan
tersebut, mayat diawetkan dan dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan
didalam tongkonan (rumah adat Tana Toraja). Arwah orang yang mati dipercaya
masih tetap tinggal di desa sampai upacara Rambu Solo selesai, dan setelahnya
arwah tersebut akan melanjutkan perjalanan menuju Puya.
Rambu
Solo dapat dijumpai di Tana Toraja pada bulan ke 10 sampai awal tahun baru,
dimana orang-orang Toraja yang merantau akan pulang ke desanya di Tana Toraja.
Bagian
lain dari pemakaman ini adalah penyembelihan tedong atau kerbau dan babi.
Semakin banyak kerbau dan babi yang disembelih maka akan semakin tinggi derajat
keluarga orang yang meninggal tersebut. Tidak tanggung-tanggung jumlah kerbau
yang disembelih ada yang berjumlah 10 – 200 ekor kerbau, tergantung kesanggupan
keluarga yang ditinggalkan. Untuk harga 1 ekor kerbau biasa disana dihargai
50-100 juta rupiah tergantung ukuran kerbau tersebut. Bahkan ada jenis kerbau
yang berharga 200-3 milyar rupiah yaitu kerbau berjenis “Tedong Saleko”.
Mengapa begitu mahal? Saya juga heran, tapi menurut cerita bapak saya, kerbau
disini mahal karena sebagian masyarakatnya bekerja sebagai pelaut dan banyak
yang merantau keluar negeri dan mereka kembali ke kampung halamannya dengan
membawa uang yang banyak, karena itu harga kerbau disana sangat tinggi, dan
gengsi juga menjadi alasan utama mahalnya harga kerbau tersebut.
Penyembelihan
kerbau dilakukan dengan menggunakan golok di depan seluruh masyarakat dan tamu
yang datang. Masyarakat Toraja percaya bahwa kerbau tersebut akan menjadi
tunggangan dan pengawal arwah untuk melaksanakan perjalanannya ke Puya, semakin
banyak kerbau yang disembelih maka arwah akan lebih cepat sampai ke Puya.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi adalah puncak upacara pemakaman
yang diiringi musik dan tarian dari para pemuda yang menangkap darah tersebut
dengan bambu panjang. Sebagian daging dari kerbau dan babi yang disembelih
tersebut akan dibagikan kepada para tamu dan dicatat karena hal tersebut akan
dianggap hutang pada keluarga almarhum, dan sebagian lagi akan dibagikan kepada
masyarakat desa.
Berikut
ada beberapa foto dari upacara pemakaman almarhum nenek saya.